Mereka bilang aku ini
seperti mengejar bulan, sia-sia. Mencintai sepenuh hati pun tak akan dibalas.
Berusaha keras mencari perhatian pun tak akan dilirik. Selalu berusaha ada,
tapi tak dibutuhkan. Ada tapi tak pernah dianggap ada.
Mereka bilang salah
satu solusinya hanyalah menyerah. Berjuang mendapatkan hatimu, sama saja
menyia-nyiakan hidupku. Hanya lelah yang akan aku dapat. Hanya pilu yang akan aku
rasa. Hanya kecewa ujung dari semua pengharapan.
Aku bilang pada mereka,
hati itu tak sekeras batu, jika batu saja mampu dilubangi, mengapa tidak hatimu
bisa ku miliki?
Mereka bilang hati
memang tak sekeras batu, tapi hati lebih kompleks dari seonggok batu. Kata
meraka, aku tidak bisa menyamakan hatimu dengan batu. Konyol, katanya.
Aku tidak marah ketika
mereka mengatakan aku konyol. Berjuang mendapatkan hatimu berarti siap
dikatakan bodoh sekalipun. Aku tidak peduli, omongan mereka tak akan pernah ku
masukan ke hati. Iya, hatiku memang sudah penuh, penuh semua tentangmu. Saran
dari mereka yang lebih terdengar cibiran itu tak lebih penting dari senyummu.
Ngomong-ngomong soal
senyum. Aku selalu rindu bisa kau tatap dengan senyummu. Aku tahu, senyummu
terlalu berharga, jadi kau tak pernah sering-sering mengumbarnya. Itu bukan
masalah, justru aku jadi merasa tertantang untuk bisa membuatmu tersenyum.
Senyummu itu seperti obat bagiku. Obat dari segala pilu yang kau beri padaku.
Perihal cinta sepihak, perihal hati yang tak kunjung disambut.
Bohong jika aku katakan
tak ada harapan besar terhadap dirimu. Aku setengah mati berharap mengakhiri
cinta sepihak ini, bukan karena menyerah tapi karena aku yang bisa meluluhkan
hatimu. Iya, harapan besarku adalah bersamamu.
Aku percaya suatu saat
nanti kita bisa bersama. Kau bukan bulan, meski kau juga bukan batu. Kau adalah
kau. Lelaki yang kuyakini akan menjadi teman hidupku.
0 komentar:
Posting Komentar